“Kakanda Dewi, mohon ampun beribu ampun. Kita telah sampai ditempat tujuan.” Demikianlah sembah Laksmana sambil meneteskan air mata.
“Atas titah kakanda Sri Rama, kini kakanda dewi di buang dalam hutan Gangga, karena rakyat Ayodya mencurigai dan menyangsikan atas kesucian kakanda Dewi.”
Mendengar ucapan Laksmana itu Dewi Sinta menjerit dan menangis. Dunia tak kuasa melihat dan mendengar ratap tangis Dewi Sinta. Seketika itu juga dunia menjadi gelap gulita, guntur menggentur, petir menyambar-nyambar, angin gemeruh dan laut berombak setinggi gunung menggoncang-goncang membentur di pantai. Hujan lebat tanpa sebab. Pendek kata terjadilah “gara-gara”. Sedang Dewi Sinta jatuh teduduk sambil meratapi nasibnya yang malang itu. Laksmana tak sampai hati melihat penderitaan Sinta, maka ia segera meloncat naik ke “gigir” kuda dan melarikannya kencang-kencang menghilang dalam hutan kembali ke Ayodya.
“Gara-gara” ini ternyata sebagai tanda kedatangan Resi Walmiki. Ia datang bermaksud menjemput Dewi Sinta yang sedang tertimpa malapetaka itu. Perbawa kedatangan Resi Walmiki mampu meredakan badai yang sedang mengamuk. Namun badan Sinta telah basah kuyup dan telah terbenam dalam lumpur dari banjir yang melandanya.
Betapa terkejutnya ketika Sinta sadar dan melihat kedatangan Resi Walmiki. Karena ia kenal kalau Resi Walmiki adalah guru Sri Rama sendiri. Pendek kata Sinta yang sedang hamil itu ditolong dan diasuhnya sebagai anaknya sendiri.
Enam bulan kemudian Sinta melahirkan dua anak laki-laki kembar, mereka bernama Lawa dan Kusya. Sejak kecil sampai dewasa Lawa dan Kusya diasuh oleh Resi Walmiki sebagai anak Brahmana. Mereka dididik agar menjadi pemuda yang gagah berani, bertanggung jawab, susila anuraga, dan tumbuh menjadi pemuda yang tampan lagi gagah perkasa. Bahkan mereka berdua menjadi pemimpin anak muda di padepokan Gangga. Demikianlah Sinta, Lawa dan Kusya hidup sebagai anggota rakyat jelata.
Dalam waktu-waktu yang senggang tak lupa Resi Walmiki selalu mengajarkan ilmu lahir dan batin, tak lupa sejarah Sri Rama sejak lahir sampai Sri Rama mengusir permaisurinya Sinta dari Ayodya. Sehingga tak mengherankan, kalau hati Lawa dan Kusya sangat benci atas tindakkan Sri Rama yang yang sewenang-wenang itu. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa ibu yang sangat disayanginya itu adalah Dewi Sinta dan Sri Rama yang sangat dibencinya itu adalah ayahnya sendiri.
Dari cerita tersebut diatas, sekali lagi telah didemonstrasikan, bahwa manusia haruslah memilih. Misalnya Laksmana, ia harus memilih membuang Sinta berarti melaksanakan perintah Sri Rama, sebaliknya menolong Sinta berarti menentang Sri Rama. Tetapi apapun pilihan dan jadinya, manusia toh harus memilih, tidak memilihpun sudah berarti memilih. Tetapi walaupun manusia telah memilih, namun keputusan yang diambilnya tidak pernah mantap, sempurna dan selesai. Hal ini menunjukkan, bahwa manusia secara psikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna.
Manusia akan terus-menerus dihadapkan kepada suatu pilihan. Dan pilihannya harus diputuskan sejauh mungkin menyangkut apa yang dianggapnya baik untuk dirinya dan menyingkiri yang dianggapnya buruk bagi dirinya. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk. Seperti halnya Kierkegaard seorang filsuf barat (1813-1855) berkata:
“I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do either this or that.”
Artinya : “Sejak semula saya menyaksikan, bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan ini atau itu.”
Bagaimana keadaan Sri Rama setelah Sinta diusir dari istana Ayodya? Baiklah marilah kita ikuti kisah selanjutnya.
IR SRI MULYONO“Atas titah kakanda Sri Rama, kini kakanda dewi di buang dalam hutan Gangga, karena rakyat Ayodya mencurigai dan menyangsikan atas kesucian kakanda Dewi.”
Mendengar ucapan Laksmana itu Dewi Sinta menjerit dan menangis. Dunia tak kuasa melihat dan mendengar ratap tangis Dewi Sinta. Seketika itu juga dunia menjadi gelap gulita, guntur menggentur, petir menyambar-nyambar, angin gemeruh dan laut berombak setinggi gunung menggoncang-goncang membentur di pantai. Hujan lebat tanpa sebab. Pendek kata terjadilah “gara-gara”. Sedang Dewi Sinta jatuh teduduk sambil meratapi nasibnya yang malang itu. Laksmana tak sampai hati melihat penderitaan Sinta, maka ia segera meloncat naik ke “gigir” kuda dan melarikannya kencang-kencang menghilang dalam hutan kembali ke Ayodya.
“Gara-gara” ini ternyata sebagai tanda kedatangan Resi Walmiki. Ia datang bermaksud menjemput Dewi Sinta yang sedang tertimpa malapetaka itu. Perbawa kedatangan Resi Walmiki mampu meredakan badai yang sedang mengamuk. Namun badan Sinta telah basah kuyup dan telah terbenam dalam lumpur dari banjir yang melandanya.
Betapa terkejutnya ketika Sinta sadar dan melihat kedatangan Resi Walmiki. Karena ia kenal kalau Resi Walmiki adalah guru Sri Rama sendiri. Pendek kata Sinta yang sedang hamil itu ditolong dan diasuhnya sebagai anaknya sendiri.
Enam bulan kemudian Sinta melahirkan dua anak laki-laki kembar, mereka bernama Lawa dan Kusya. Sejak kecil sampai dewasa Lawa dan Kusya diasuh oleh Resi Walmiki sebagai anak Brahmana. Mereka dididik agar menjadi pemuda yang gagah berani, bertanggung jawab, susila anuraga, dan tumbuh menjadi pemuda yang tampan lagi gagah perkasa. Bahkan mereka berdua menjadi pemimpin anak muda di padepokan Gangga. Demikianlah Sinta, Lawa dan Kusya hidup sebagai anggota rakyat jelata.
Dalam waktu-waktu yang senggang tak lupa Resi Walmiki selalu mengajarkan ilmu lahir dan batin, tak lupa sejarah Sri Rama sejak lahir sampai Sri Rama mengusir permaisurinya Sinta dari Ayodya. Sehingga tak mengherankan, kalau hati Lawa dan Kusya sangat benci atas tindakkan Sri Rama yang yang sewenang-wenang itu. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa ibu yang sangat disayanginya itu adalah Dewi Sinta dan Sri Rama yang sangat dibencinya itu adalah ayahnya sendiri.
Dari cerita tersebut diatas, sekali lagi telah didemonstrasikan, bahwa manusia haruslah memilih. Misalnya Laksmana, ia harus memilih membuang Sinta berarti melaksanakan perintah Sri Rama, sebaliknya menolong Sinta berarti menentang Sri Rama. Tetapi apapun pilihan dan jadinya, manusia toh harus memilih, tidak memilihpun sudah berarti memilih. Tetapi walaupun manusia telah memilih, namun keputusan yang diambilnya tidak pernah mantap, sempurna dan selesai. Hal ini menunjukkan, bahwa manusia secara psikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna.
Manusia akan terus-menerus dihadapkan kepada suatu pilihan. Dan pilihannya harus diputuskan sejauh mungkin menyangkut apa yang dianggapnya baik untuk dirinya dan menyingkiri yang dianggapnya buruk bagi dirinya. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk. Seperti halnya Kierkegaard seorang filsuf barat (1813-1855) berkata:
“I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do either this or that.”
Artinya : “Sejak semula saya menyaksikan, bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan ini atau itu.”
Bagaimana keadaan Sri Rama setelah Sinta diusir dari istana Ayodya? Baiklah marilah kita ikuti kisah selanjutnya.
Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.