Senin, 27 April 2020

Perjuangan Bangsa Menghadapi Agresi Militer II

Gadis Rantau
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu yaitu Yogyakarta, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

A. Latar Belakang Agresi Militer II
Latar belakang terjadinya Agresi Militer II adalah karena pihak bangsa Indonesia maupun pihak Belanda sama-sama mengirimkan surat kepada pihak KTN. Surat tersebut sama-sama berisi dugaan terhadap pihak indonesia maupun pihak belanda yang dianggap tidak menghormati hasil perjanjian Renville. 

L.J.M Beel sebagai Komisi Tinggi Kerajaan Belanda merupakan otak dari Agresi Militer Belanda II mempunyai dua tujuan.
  1. Pertama, Republik Indonesia sebagai suatu kesatuan ketatanegaraan harus dihancurkan dan itu hanya dapat dilakukan dengan Agresi Militer. 
  2. Kedua, untuk membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarka atas Peraturan Pemerintahan dalam Peralihan, di mana wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-unsur yang kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian dalam PIF tanpa mewakili bekas Republik.

B. Upaya Pemimpin Bangsa Menghadapi Agresi
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Pemerintah RI dan TNI membentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta.
 Agresi Militer Belanda II terjadi pada  Perjuangan Bangsa Menghadapi Agresi Militer II
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta beserta sejumlah Menteri, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Suryadarma dan lainnya ditawan tentara Belanda. Namun sebelumnya Presiden Sukarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang melakukan kunjungan ke Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Perintah juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India. Apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pernerintah pelarian (Exile Goverment) di luar negeri.

Ketika mengetahui Belanda melancarkan serangan, Jenderal Sudirman dengan para pengawalnya Suparjo Rustam dan Cokropranolo pergi ke luar kota untuk bergerilya. Sedangkan pasukan di bawah pimpinan Letkol Soeharto terus berusaha menghambat gerak maju pasukan Belanda. Kemudian beberapa tokoh militer vang mengikuti jejak Jenderal Sudirman, antara lain Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel TB. Simatupang.

C. Dampak Agresi Militer II
Aksi militer Belanda II menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB.

Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi atas peperangan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda, Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi pada 28 Januari 1949, yang isinya:
  1. Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh RI
  2. Pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat atas semua tahanan politik
  3. Belanda harus memberikan kesempatan kepada pejabat pemerintah RI untuk kembali ke Yogyakarta
  4. Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati dan Renville
  5. Komisi Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) diganti namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan